Langsung ke konten utama

FITRAH DAN KEBAHAGIAAN

From : Ahmad Sumantho

Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada agama Allah. (Tetaplah atas) Fitrah Allah yang manusia diciptakan atasnya. Tak sekali-kali ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus …” (QS. Ar-Ruum: 30)



Kata fitrah -bahasa Arab ”fith-rah”- berasal dari akar kata f-th-r. Arti kata ini adalah ”keawalmulaan sesuatu sementara sebelumnya sesuatu itu tidak ada”. Dengan kata lain, ”sesuatu yang tercipta untuk pertama kalinya dan tanpa preseden (contoh)”. Sinonimnya adalah al-khalq atau atau al-ibda’. Contohnya, air susu yang pertama kali keluar dari induk unta disebut sebagai “fithr”. Maka, dalam ayat di atas, fitrah berarti unsur manusia yang diciptakan pertama kali. Bukan itu saja, fitrah manusia itu tak pernah berubah sepanjang hidupnya -dengan kata lain, selama-lamanya. Bukan kebetulan juga bahwa makna lain kata fitrah adalah cetakan atau patrian, yang sekali dicetak atau dipatri, tak akan bisa diubah atau dilepaskan.

Tapi, di atas semuanya itu, penting kita sadari bahwa sesungguhnya unsur kemanusiaan -bawaan, tak lain dan tak bukan, terbentuk atas model sifat atau ”tabiat”- yakni fitrah -Allah sendiri.

Selanjutnya, disebutkan juga dalam ayat 30 tersebut, bukan saja bahwa fitrah manusia merupakan perwujudan ruh Allah, tapi ia juga identik dengan agama itu sendiri, tepatnya ”agama yang lurus”. Yakni, suatu pandangan dunia (world-view atau weltanscahauung) dan cara hidup (way of life) yang benar, yang berorientasi keimanan kepada Allah, dan kepada kebenaran -suatu cara pandang dan cara hidup yang, dalam ayat yang sama, disebut juga dengan cara hidup yang hanif.

Memang, dalam analisis lebih jauh, kita mendapati bahwa fitrah memiliki dua unsur utama dan fundamental.Pertama, keimanan kepada Tuhan sebagai Rabb kita, sebagai Pencipta dan Perawat kita:
”Dan ingatlah ketika Allah mengeluarkan (cikal-bakal) anak-cucu Adam dari punggung atau tulang sulbi ayah-ayah mereka (yakni di alam sebelum alam dunia ini) dan menarik persaksian atas diri mereka: ’Bukankah Aku ini Rabb-Mu?’ Mereka pun berkata: ’Benar, kami bersaksi’. Agar kelak mereka tidak berkata: ’Sesungguhnya mengenai hal ini kami lupa’.” (QS. Al A’raf: 172).

Unsur kedua fitrah adalah pengetahuan tentang jalan kebaikan dan jalan keburukan yang telah diilhamkan kepada manusia sejak awal penciptaannya:
”Dan demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan)-Nya. Maka diilhamkan kepadanya jalan keburukan dan jalan ketakwaannya. Pasti berbahagia siapa saja yang memelihara kesuciannya, dan pasti sengsara siapa saja yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7 – 10).

Berdasar itu semua, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap manusia diciptakan dengan kecenderungan-bawaan beriman kepada Allah dan kepemilikan pengetahuan tentang kebaikan atau ketakwaan dan keburukan. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah bahwa, kepenuhan dan kebermaknaan hidup kita, yakni kebahagiaan kita, terletak dalam keberhasilan kita memelihara kesucian keyakinan kita kepada-Nya dan kemampuan kita dalam berbuat baik dan menghindar dari keburukan -yang pengetahuan tentangnya telah diilhamkan kepada kita tersebut.Kegagalan dalam hal ini -jauhnya kita dari Tuhan, dan kurangnya orientasi amal saleh dalam kehidupan kita- hanya akan meninggalkan kehampaan hati, betapa pun mungkin kehidupan kita berlimpah materi dan dikerumuni banyak orang. Karena, bukankah kecenderungan-kecenderungan ini telah menjadi fitrah (tabiat-bawaan) hidup kita yang tak akan pernah berubah?

Inilah kiranya yang dimaksud William James, seorang filosof dan psikolog Amerika awal abad 20 ketika menulis dalam buku-klasiknya, Varieties of Religious Experience bahwa, betapa pun kehidupan akan menarik manusia ke arah yang bertentangan (materialistik), dan betapa pun dikerumuni banyak orang, manusia tak akan pernah berbahagia sebelum ia bersahabat dengan The Great Socius (Sang Kawan Agung)


juga di Publish di :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rubah dan Kambing

Suatu hari seekor Rubah sedang berjalan di tengah hutan..  Disitu ada sebuah sumur tua yang airnya jernih sehingga dia bisa bercermin..  Karena asyik bercermin, tanpa sengaja dia tercebur dan tidak bisa keluar..  Beberapa saat kemudian ada seekor Kambing datang ke sumur itu..... Kambing itu bertanya,  "Apa yang kamu lakukan?" "Aku sedang menikmati Air termanis yang pernah kuminum" jawab Rubah...  Kambing pun berkata, "Alangkah senangnya bila aku juga bisa menikmatinya"  Rubah pun berkata, "Kenapa kamu tidak bergabung bersama ku?"  Tanpa Pikir Panjang, Kambing itu masuk ke dalam sumur dan Rubah segera Melompat dengan memanjat punggung Kambing lalu meninggalkannya... Kini giliran Kambing yang tidak bisa keluar dari sumur.. Kambing pun merasa ditipu dan dimanfaatkan oleh Rubah...... (Catatan) : Sikap Terburu-buru tanpa Pikir Panjang selalu membuat kita Melakukan Kesalahan-kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.. Apalagi jika kita Mudah tergi

Pangawikan Pribadi (Pengenalan Diri)

"Di atas bumi dan di bawah langit ini tidak ada yang pantas dicari-cari (diburu) ataupun ditolak (disingkiri) secara mati-matian." (Ki Ageng Suryomentaram) Dunia berputar dengan perubahan yang cepat luar biasa. Perubahan terutama menyangkut aspek perilaku, perasaan, dan pikiran manusia. Pikiran manusia merupakan asal dari segala perubahan.              Bila pikiran kita jernih, keheningan jiwa dapat dirasakan, dan perilaku menjadi tenang, mendatangkan ketenangan dalam kehidupan di sekeliling kita. Sebaliknya, bila pikiran berantakan, perasaan atau jiwa kita terasa kacau, dan perilaku kita juga mengacaukan kehidupan di sekeliling kita.              Dari mana datangnya kejernihan pikiran? Ini merupakan inti persoalan hidup kita jika kita ingin merasakan kebahagiaan sejati dalam meng-arungi hidup dalam keadaan seperti apa pun. Sebagian dari kita tidak memedulikan hal ini, dan menjalani hidup secara serampangan mengikuti arus kehidupan materi yang adanya di luar diri

MORAL DI BALIK KISAH WAYANG

Kisah wayang adalah kisah tentang wayang, kisah tentang tokoh-tokoh yang barangkali sebetulnya tidak pernah ada di dunia ini. Besar kemungkinan, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh pengarangnya, sebagai simbol gejala gejala yang dianggapnya hadir di dunia. Harus diingat bahwa kisah wayang berasal dari India, sebuah negara dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan negara atau bangsa lain. Banyak orang di India yang percaya adanya para dewa. Karena itu, tidak mustahil bahwa salah satu tokoh wayang, adalah simbol dari dewa tertentu. Juga ada kemungkinan bahwa salah satu tokoh, adalah simbol dari nafsu tertentu, atau bahkan simbol dari ilmu tertentu. Dugaan bahwa tokoh-tokoh wayang hanya merupakan simbol-simbol tertentu, menyebabkan kisah wayang harus diitrepretasikan secara sangat berhati-hati. Kita harus menyadari bahwa di balik kisah wayang, ada ajaran-ajaran tertentu yang diberikan secara tersamar. Untuk menangkap ajaran tersamar itu, ada baiknya kita mulai denga